Saturday, March 6, 2010

JINGGA

Bau tanah basah begitu menyengat. Hujan turun rintik rintik. Kuperhatikan jendela di dekat vas bunga.Tak kusadari setelah hujan di pagi hari minggu itu, terlihat lukisan alam. Berwarna warni menghiasi langit yg kini mendung. Munkin itu pelangi pertama dan terakhir yang aku lihat..

Tali infus menancap ditangan ku. Dan selang oksigen dihidungku. Detak jantungku berdegup lemah. Lemah sekali. Dokter memvonis hari ini adalah hari terakhir ku menghirup udara yg segar, melihat keindahan alam, ataupun mendengar lagu lagu yang sedang nge-trend musim ini. Tpi, aku ingin tetap bertahan. Berada disini bersama orang yang kusayangi.

Mataku masih terpejam tak sadarkan diri. Bunda duduk disampingku. Mencoba tegar. Aku tau bunda sedih, tapi aku tak tau cara aku bangun. Kulihat di sekeliling. Ada Brownies, kucingku. Ia tampak menjilat jilati tubuhnya. “A.. aku ingin bangun..” Kataku. Namun tak seorangpun yang mendengar. Aku mulai putus asa.

Sunyi. Sendiri dalam keheningan. Adakah yang mengerti perasaanku? Aku ingin bangun. Mencium ayah dan bunda. Memeluk brownies yang kini menggelengkan kepalanya pada tubuhku yang tak berdaya. “Andai kau tau, Brownies..” ucapku tanpa suara “Aku ingin kembali ke kehidupanku. Oh Tuhan.. sadarkan aku..”

Pelangi itu hilang. Entah hilang tertutup awan ataukah tak akan kembali. “Tuhan.. kumohon. Izinkan aku melihat pekangi lagi. Melihat pelangi dalam keadaan hidup. Tuhan.. dengarkan do’aku”

Aku masih tak bergeming. Detak jantungku semakin lemah dan lemah. Bunda menangis. Lalu memanggil dokter melalui telepon. “Dokter.. halo dokter” Kata bunda. “Maaf, tunggu sebentar, dokter Hari sedang ke kamar kecil.” Kata perawat di seberang. “Suster, cepat kesini! Datang kesini suster! Suster harus datang kesini sekarang juga!!” Bunda histeris sekali. Bunda, jangan begitu, aku sedih melihat bunda seperti itu..

Dokter dan Suster membawa alat seperti setrikaan. Oh ya! Itu alat untuk memancing detak jantung agar detak jantungku tak kian melemah.

“Bismillah.. satu dua ti.. ga!” Dokter berseru. Zeet. “Ayolah nak. Kuatkan dirimu.” Kata dokter itu sambil menyatukan setrikaan itu. “Baik, satu-dua ti..ga!” Zeeet..

Sebuah keajaiban yang diberikan Allah padaku. Dan aku sadarkan diri 30 menit setelah setrikaan itu berulang kali disatukan didadaku.

“Bunda, aku haus.” Dengan susah payah aku berbicara. Bunda mengambilkan segelas air padaku. Lalu kuminum dengan sendok. Tentunya disuapi bunda dengan lembut. “Sekarang Jingga mambaik kan?” Kata bunda tersenyum. “ya bunda. Aku merasa baik. Baik sekali .” Kataku lemah. Mendengar ucapanku yang lemah, bunda merasa bersalah.

“Tidurlah,nak. Maaf bunda mengajakmu ngobrol.” Kata bunda. “Tak apa bunda.” Kataku tersenyum. “Tapi aku tidak mau tidur.” “Kenapa sayang?” Kata bunda seraya membelai rambutku. “A-aku takut kalau aku tidur, aku tidak akan bisa bangun lagi.” Kataku. Bunda tersontak kaget.

“Tentu tidak sayang!”

“Aku hanya takut, bunda.”

“Buanglah rasa takutmu. Jangan biarkan ia bersarang dipikiranmu. Okey?”

“Oke”

Brownies naik ke kasurku dan ikut tidur disebelahku. Kupejamkan mataku. Tapi, aku masih merasakan ketakutan itu. Maka, kuputuskan untuk tetap membuka mataku dan memerhatikan tingkah Brownies yang menggemaskan.

Lalu kulirikkan mataku ke jendela dekat vas bunga. Ya Allah.. Pelangi! Itukah pelangi yang barusan kulihat? Pelangi! Pelangi! Pelangi!

“Bunda! Ada pelangi!” kataku sambil menunjuk ke jendela. Tentunya dengan tenaga yang ekstra! “Oh.. pelangi yang indah! Subhanallah.. Jingga tau? Pelangi memiliki warna yang namanya sama denganmu. Yaitu Jingga .” Kata bunda memberitau.

“Tentu aku tau bunda. Aku kan sudah kelas 6.”

“Hehe.. bunda hanya ingin mengasah otakmu kembali. Hahaha.”

Aku tersenyum bangga. Aku bangga punya bunda yang sangat sangat menyayangiku. bunda yang sangat tegar seperti bundaku. Oleh karena itu, aku ingin tetap menemani bunda lebih lama lagi. Allah yang berhak mengambil nyawaku. Dokter hanya bisa memperkirakan bukan?

Kutatap jendela lagi. Pelangi semakin memudar dan sedikit demi sedikit hilang.

Kuputuskan untuk tidur. Entah mengapa, kali ini aku ingin sekali tidur. Kututup mataku. Dan pelangipun hilang seiring dengan tertutupnya mataku. Entah tertutp awan ataukah tak akan kembali lagi.

No comments:

Post a Comment